TIMES SUBANG, JAKARTA – Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum mengungkapkan bahwa pemerintahnya menggugat Google karena dianggap mengabaikan permintaan berulang agar tidak mengganti nama Teluk Meksiko menjadi Gulf of America di layanan peta Google Maps untuk pengguna di Amerika Serikat.

Sheinbaum tidak menyebutkan di mana gugatan tersebut diajukan. Sementara itu, pihak Google belum memberikan komentar.

Pada Kamis sebelumnya, DPR Amerika Serikat yang didominasi Partai Republik mengesahkan usulan untuk secara resmi menggunakan nama "Gulf of America" oleh lembaga-lembaga federal.

Presiden AS Donald Trump bahkan menandatangani perintah eksekutif pada hari pertamanya menjabat di bulan Januari, yang berisi instruksi penggantian nama tersebut. Trump beralasan bahwa perubahan itu sah karena, menurutnya, “AS yang paling banyak beraktivitas di sana, jadi itu milik kami.”

Namun, pemerintah Meksiko menegaskan bahwa perintah eksekutif Trump hanya berlaku di wilayah landas kontinen milik AS, dan AS tidak memiliki wewenang untuk mengganti nama seluruh kawasan teluk tersebut.

"Yang kami minta hanyalah agar dekrit pemerintah AS itu dihormati sesuai batas wilayahnya," kata Sheinbaum seperti dikutip dari BBC.

Ia juga menambahkan bahwa pada Januari lalu dirinya telah mengirim surat kepada Google untuk mempertimbangkan kembali perubahan nama tersebut. Sebulan kemudian, ia mengancam akan mengambil langkah hukum.

Saat itu, Google menyatakan bahwa perubahan nama itu merupakan bagian dari "kebijakan lama" perusahaan dalam mengikuti nama-nama geografis yang diperbarui oleh sumber resmi pemerintah.

Google juga menjelaskan bahwa nama Teluk Meksiko tidak diubah untuk pengguna di wilayah Meksiko. Sementara pengguna di wilayah lain akan melihat label “Gulf of Mexico (Gulf of America)”.

Di sisi lain, Presiden Trump juga memberi isyarat bahwa AS mungkin akan mengubah penyebutan nama perairan lain. Dalam kunjungan mendatang ke Arab Saudi, Trump disebut akan mengumumkan bahwa AS akan menyebut Teluk Persia sebagai Arabian Gulf atau Gulf of Arabia.

Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi, menanggapi kabar itu dengan mengatakan bahwa ia berharap “isu konyol ini” tidak lebih dari sekadar kampanye disinformasi, dan memperingatkan bahwa tindakan tersebut “akan memicu kemarahan seluruh rakyat Iran.” (*)