https://subang.times.co.id/
Berita

Aturan Cukai Minuman Manis, Pemerintah Harus Cermat?

Senin, 17 November 2025 - 20:58
Aturan Cukai Minuman Manis, Pemerintah Harus Cermat? Ilustrasi Minuman Manis dalam Kemasan

TIMES SUBANG, JAKARTA – Di ruang rapat Komisi XI DPR RI, Senin (17/112025) siang itu, Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Kacaribu, berbicara dengan nada yang tak biasa: hati-hati, penuh kalkulasi, sekaligus tegas. Di hadapannya, kebijakan Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) bukan sekadar tarif baru, melainkan persimpangan besar ekonomi Indonesia jelang 2026.

“Pemerintah cukup *cautious* ketika kami akan menerapkan kebijakan yang membantu pendapatan negara, tetapi di sisi lain momentum pertumbuhan ekonomi jangka pendek harus terus terjaga,” kata Febrio.

Pernyataan itu bukan basa-basi birokrasi. Di balik frasa “cautious”, terdapat sektor raksasa yang menjadi jantung tenaga kerja manufaktur Indonesia: industri makanan dan minuman, yang kini mempekerjakan 6,3 juta pekerja. Ini sektor padat karya yang sejak lama menjadi bantalan serapan tenaga kerja di luar industri padat modal seperti migas dan otomotif.

Tarik Ulur Kebijakan: Antara Pendapatan Negara dan Risiko PHK Massal

Rencana cukai MBDK telah lama bergulir. Pemerintah memasukkannya ke dalam daftar sumber pendapatan negara di UU APBN 2026. Namun implementasinya tertahan karena satu kata kunci: dampak tenaga kerja.

Masukan dari Kementerian Perindustrian, asosiasi industri, dan pelaku usaha menunjukkan potensi penyesuaian produksi besar-besaran jika tarif cukai diterapkan secara drastis. Setiap kenaikan biaya dapat membuat pabrikan meninjau ulang lini produksi, distribusi, hingga strategi harga—yang pada gilirannya dapat menggerus permintaan dan memicu PHK.

Kemenkeu membaca risiko ini secara teliti. Karena itulah Febrio menegaskan bahwa diskusi lintas kementerian masih terus berjalan.

“Pertimbangan penyerapan tenaga kerja menjadi salah satu titik paling sensitif,” ujarnya.

Di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi: Target Tinggi, Rasa Waswas Tinggi

Pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekonomi 2025 di kisaran **5,2 persen**, dengan kuartal IV 2025 diharapkan mampu mencapai **5,5 persen**. Angka itu bukan kecil. Di tengah perlambatan global dan ketidakpastian geopolitik, menjaga konsumsi rumah tangga—penyumbang 54–56 persen PDB—adalah kunci.

Untuk menopang konsumsi jangka pendek, pemerintah mengguyurkan Rp200 triliun SAL yang ditempatkan BI di lima bank BUMN sejak 12 September. Rp31,5 triliun BLT sebagai stimulus daya beli.

Dari data terakhir per 22 Oktober, 84 persen dana SAL telah dikucurkan perbankan. Efek langsungnya: biaya dana bank menurun dan ruang kredit diperluas. Di sisi lain, BLT terbukti meningkatkan consumer confidence, yang biasanya berbanding lurus dengan belanja rumah tangga.

“Kepercayaan konsumen membaik cukup signifikan,” kata Febrio.

Dalam situasi pertumbuhan yang sensitif seperti ini, tarif cukai MBDK harus dihitung presisi agar tidak mengganggu konsumsi barang harian.

Mengapa Pemerintah Tetap Bersikeras Jalan? Kesehatan Publik Jawabannya

Meski berhati-hati, Febrio menegaskan satu hal: kebijakan ini pasti dilanjutkan.

Alasannya bukan hanya soal penerimaan negara, tetapi kesehatan masyarakat. Kandungan gula tinggi dalam minuman kemasan berkontribusi pada meningkatnya kasus diabetes, obesitas, penyakit metabolik, dan beban BPJS Kesehatan.

Indonesia tidak ingin menjadi negara yang terlambat mengendalikan epidemi gula seperti Meksiko atau negara-negara Timur Tengah.

Cukai MBDK telah diterapkan di 115 negara, termasuk Kamboja, Laos, Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Timor Leste.

Rata-rata tarif kawasan ASEAN mencapai **Rp1.771 per liter**—angka yang kelak jadi acuan bagi pemerintah menentukan pentahapan tarif di Indonesia.

Tarif Akan Menyasar Produk Siap Minum, Bukan Es Teh di Warung

Febrio menegaskan bahwa penerapan cukai hanya menyasar minuman siap minum (*ready to drink*) dan konsentrat dalam kemasan eceran. Sedangkan yang tidak termasuk minuman yang dijual di tempat dan dikonsumsi langsung, seperti es teh manis di warung Tegal atau minuman racikan di kedai kopi.

Klausul ini penting. Pemerintah tidak ingin kebijakan tersebut menjadi bumerang politik di kelompok UMKM dan pekerja informal yang sangat sensitif terhadap perubahan harga bahan baku.

Dilema Utama: Apakah Cukai MBDK Akan Mengubah Peta Industri?

Industri MBDK di Indonesia memiliki rantai pasok panjang, mulai dari petani tebu, pabrik gula rafinasi, produsen kemasan, pabrik minuman, distributor, dan pedagang ritel.

Kenaikan tarif berpotensi mengubah pola konsumsi. Negara-negara penerap cukai MBDK menunjukkan pola serupa: konsumen mulai beralih ke minuman rendah gula, air mineral, atau varian diet. Di satu sisi, tren ini mendukung kesehatan publik. Di sisi lain, ia memaksa produsen mengubah formula produk. Namun, industri yang belum siap bertransformasi tanpa mengorbankan pekerja, menjadi alasan pemerintah memilih pendekatan bertahap, bukan langsung.

Tahun 2026 Jadi Penentu

Dengan tekanan target pertumbuhan, sensitivitas tenaga kerja, dan urgensi kesehatan publik, 2026 akan menjadi momen krusial bagi kebijakan ini.

Jika diterapkan dengan hati-hati, cukai MBDK bisa menjadi sumber penerimaan baru, instrumen pengendali konsumsi gula, dorongan reformulasi produk yang lebih sehat, dan alat untuk memperkuat keseimbangan fiskal.

Namun jika terlalu agresif, ia bisa mengurangi konsumsi secara tiba-tiba, mengganggu stabilitas industri, memicu PHK, dan melemahkan kontribusi sektor makanan-minuman terhadap PDB.

Untuk sekarang, satu hal jelas: pemerintah tidak akan mundur. Kebijakan ini tinggal menunggu waktu.(*)

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Imadudin Muhammad
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Subang just now

Welcome to TIMES Subang

TIMES Subang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.